June 23, 2015

Menantikan redup

Matamu selalu menunjukkan pukul enam kepadaku
Sehingga hanya sekejap saja kita bertatap
Seperti surya tenggelam, senja yang kita nantikan
Di pantai yang sepi dikunjungi dibanding kenyataan

Kita berlari-lari mengejar waktu
Seolah yakin bahwa umur tinggal sepekan lagi
Denganmu, sumber di mana air mataku
Meluap hingga liangnya: perpisahan

Maaf, aku hanyalah pria romantis yang selalu mengajakmu menuju sepi

MH - 06/23/'15

Berakhir pekan

Daun lebih lihai bercerita
Tentang tenang dibanding mulut
Buku lebih pandai meletakkan
Di mana was-was berada seharusnya

Mereka penjelajah yang pintar menyamarkan
Pikiran. Dari berakhir pekan hingga pekan berakhir

MH - 06/23/'15

June 09, 2015

Lampu merah

Kerumunan jalan selalu berhubungan
Dengan lampu-lampu, cahaya, menyakiti mata
Dan perasaan gelisah yang kian meresah
Mendesah, tiada apa-apa selain memerahkan marah

Aku disini menikmati, (atau lebih tepatnya) mengamati
Hidup yang semakin tidak hati-hati
Tentang jalanan, tentang kepala mereka, kian mati
Tentang elegi yang kita hindari pergi

Kita hanya sekumpulan kesepian
Yang lebih silau dari keramaian

Benar, ada jalan melayang di kepalaku
Menjulang tinggi menghalangi langiku

MH - 06/10/'15

June 02, 2015

Dapatkah sajakku kali ini singgah pada kebimbanganmu?

Apakah mampu luka darimu
Menenggelamkan kapal di kepalaku?
Berharap mati geramnya hati
Yang semakin karam, di lautan tanpa garam

Dusta demi dusta, elok kuceritakan
Dalam kisah cinta penuh perjuangan

Adakah teka-teki darimu
Memutar paksa isi kepalaku?
Selain memahamimu, tolong beritahu
Kepadaku, bagaimana nelayan menjaring hatimu tanpa perahu?

Kau bisikkan kepadaku dua hal:
"1. Perasaan ialah makhluk yang tak pernah lelah berhutang;
2. Kejujuran ialah alat pembayaran yang sah dibanding uang."

MH - 06/02/'15

© Aksara Angkasa 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis